Usaha, Doa, Serta Tawakkal

Setelah setahun mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian perawat. Rasanya masih saja kurang.

Bolak-balik membaca fungsi saraf simpatis dan parasimpatis. Masih saja terbalik-balik.

Memahami urutan pemeriksaan leopold. Lupa urutan ketiga dan keempat yang mana.

Ditambah jenis-jenis sistem masuk rumah sakit bagi pasien dengan gangguan mental? Bener-bener muter isi kepala.

Ada juga JCS (Japan Coma Scale), Hasegawa scale, MMT (Manual Muscle Test), serta kawan-kawannya.

Semua itu bersatu padu menemui para peserta ujian nasional keperawatan di Jepang.

Melihat 3 tahun ke belakang. Angka kelulusan tahun ini baru bisa melebihi 90%. Jadi, orang Jepang pun ada yang gagal.

Jika jumlah peserta ujian tahun ini ada sekitar 64 ribu. 9 persen, atau sekitar 5 ribu orang lebih belum bisa lulus.

Saya sendiri?

Malam setelah ujian. Tertunduk lesu.

Bagaimana tidak. Nilai ujian wajib saya tidak bisa melewati batas minimal kelulusan yang ditetapkan. Yaitu 80%.

Total poin ujian wajib adalah 50 poin. Batas untuk bisa lulus adalah minimal 40 poin.

Saat itu? Saya kurang 2 poin.

Malam itu. Makan terasa tidak enak. Tidur tidak bisa nyenyak. Pikiran penuh dengan segala penyesalan.

Mengapa dulu kurang begini. Mengapa dulu tidak seperti itu. Harusnya soal ini tadi saya tidak rubah jawabannya. Harusnya udah mantep dengan jawaban asal. Kurang lebih seperti itu.

Keesokan harinya. Ketika nilai ujian umum dan kasus keluar. Ada secercah harapan.

Nilai saya sepertinya bisa masuk batas kelulusan. Jika tahun kemarin batas minimal adalah 142 dari 250 poin total. Saya sudah melebihi itu.

Yakin di nilai soal umum dan kasus. Gamang di nilai soal wajib.

Solusinya? Curhat ke orang tua.

Minimal saya bisa ngeluarin unek-unek. Sama ngasih tahu ibu dan bapak. Misal tahun ini belum berhasil, kesempatannya tinggal setahun lagi.

“Bukan tinggal setahun lagi. Masih ada setahun lagi buat belajar,” Ibu membesarkan hati. Walau sejatinya juga tidak kalah kepikiran.

Usaha sudah maksimal. Alhamdulillah ujian bisa diselesaikan.

Maka, doa yang terus dipanjatkan mulai sebelum ujian. Ditambah intensitasnya ketika setelah ujian.

Doa dengan pengharapan terbaik.

Jika yang terbaik belum lulus, maka itu harus diterima dengan syukur. Sebaliknya juga. Jika yang terbaik lulus tahun ini, maka jangan takabur.

Semua harus disyukuri. Semua harus diterima. Itulah tawakkal.

Permasalahannya. Ibarat teori kehilangan dalam dunia keperawatan. Saya masih di tahap “denial”. Penolakan.

Tidak serta merta saya bisa menerima hal itu. Saya terus dan masih merasa menyesal. Dan itu tidak baik bagi keseharian saya.

Akhirnya. Istri menyarankan untuk membaca cerita jatuh bangunnya Pak Edi AH Iyubenu dalam mendirikan Diva Press.

Pak Edi ini salah satu esais favorit saya.

Melalui proses membaca itu. Perlahan saya semakin tenang. Perlahan saya bisa berubah dari penolakan menjadi penerimaan.

Karena tahu saya sedang dirundung kegalauan. Bapak sampai secara khusus sowan kepada gurunya untuk minta doa.

Usaha sudah maksimal. Doa juga harus dimaksimalkan.

Perlu cukup waktu saya menjadi tenang dan bisa merasa menerima apapun hasilnya.

26 Maret 2018. Hari pengumuman.

Rasanya pagi hingga siang terasa sangat lama. Untung pagi itu suasanya ruangan sedang sibuk-sibuknya.

Pukul 2 siang. Website kementrian kesehatan Jepang saya buka.

Saya klik di bagian pengumuman hasil ujian. Lalu saya klik lagi Hokkaido, tempat dimana saya ujian.

Saya cari nomor diantara tumpukan nomor ujian peserta lain.

02811! Ada! Alhamdulillah ya Rabb….

Pembimbing saya seketika teriak dan menangis di samping kiri saya. Saya tidak bisa berkata-kata.

Para kepala ruang segera menghambur di ruang keperawatan. Mengucapkan selamat. Saya masih tercekat. Belum bisa bicara apa-apa selain terus mengucap syukur dalam hati.

Kepala keperawatan datang memberikan ucapan selamat.

“Uki kun. Segera hubungi orang tuamu,” Pinta pembimbing.

Segera saya ke musholla rumah sakit. Sujud syukur dan telpon ibu.

Telepon tersambung. “Alhamdulillah lulus, Bu,” Ucap saya setelah salam.

Ibu langsung terisak di ujung telepon. Tidak bisa berkata-kata.

Tidak bisa ternyata kalau semua ini saya lakukan sendiri. Dulu. Sedari dulu. Segala yang saya lakukan selalu minta ijin dan doa mereka.

Boleh jadi usaha saya dalam belajar sudah sekuat tenaga. Namun, tanpa mereka. Proses doa dan tawakkal itu akan sulit saya lalui.

Berkah dari doa. Ada beberapa soal yang dianulir karena tidak ada jawabannya. Sehingga batas minimal yang harusnya 40 menjadi 36. Dan batas nilai ujian umum dan kasus 154 poin. 12 poin lebih tinggi dari tahun lalu.

Matursuwun. Terima kasih kepada bapak, ibu. Kepada istri. Kepada ibu, bapak mertua. Kepada saudara dan semua yang telah ikut mendoakan.

Alhamdulillah. Mulai bulan april ini. Di rumah sakit ini. Rumah sakit Sapporo Higashi Tokushukai. Saya bisa bekerja sebagai perawat (RN) setara dengan perawat Jepang lainnya.

Tantangan ke depan masih akan terus ada. Masih banyak hal yang akan bisa dipelajari. Di ibukota pulau paling utara Jepang ini.

*Uki

Tinggalkan komentar