Ketemu Ruswan Surya Permana Sensei di Sapporo

#Yuki 5

“Besok bisa ketemu?..” Tanya Ruswan sensei di hari jumat yang lalu.

“Sensei mau ke Sapporo?” Saya balik nanya.

“Iya, lagi ada kerjaan, sekalian kalau bisa ketemu,” Sambungnya.

Itu adalah percakapan beberapa hari yang lalu, sehari sebelum beliau berangkat ke Sapporo.

Keesokan harinya, meeting point sudah ditentukan. Jam 3 sore di stasiun Sapporo.

“Saya pakai jaket cokelat ya. Nanti ketemu di pintu barat stasiun JR,” Tulisnya dalam percakapan di inbox facebook.

Setelah beberapa saat, ketika akan segera berangkat, beliau menelpon saya dengan tergesa-gesa.

“Arsyad san, tolong jangan berangkat dulu. Disini macetnya gak ‘ketulungan’. Kata petugasnya, antrinya bisa sampai 3 jam lewat,” Ucap beliau.

Saya yang awalnya mau berangkat, terpaksa menunda beberapa saat.

Eh, beberapa saat kemudian ada pesan masuk, “Saya berangkat sekarang ya.”

Segera saya menuju Stasiun Shindohigashi untuk naik kereta bawah tanah menuju stasiun Sapporo. Tidak terlalu lama, 15 menit kemudian saya sampai dan segera menuju ke meeting point.

Setelah ketemu tempat yang sesuai dengan janji, pesan baru masuk. Saat itu masih jam 3 sore.

“Arsyad san, kayaknya susah untuk ketemu hari ini. Antriannya mengular, dari bandara chitose ke arah manapun macet. Bus, kereta, semua bakal terlambat. Ada salju tebal yang menumpuk…” Tulisnya di pesan facebook.

Kejadian semacam ini memang bisa terjadi di Sapporo.

Jadwal bus dan kereta bisa ditunda lama karena salju. Apalagi hari kamis dan jumat kemarin, terjadi peristiwa turun salju lebat di bulan desember yang terakhir terjadi 50 tahun lalu. Itu sesuai berita yang saya lihat.

Hujan salju di Sapporo, atau Hokkaido secara keseluruhan adalah hal yang lumrah.

Namun, turun salju selebat kemarin dan di bulan desember adalah hal yang tidak wajar. Seperti turunnya salju di bulan November di Tokyo kemarin, juga hal yang sama.

“Saya tunggu sampai jam 6 sensei. Karena jam 7 saya ada janji juga dengan Shimada sensei,” jawab saya di pesan facebook.

“Ok, semoga bisa bertemu sebelum jam 6 sore,” balasnya.

Akhirnya, sambil menunggu. Saya muter-muter di mall yang ada di atas stasiun sapporo. Luasssss bangettt ternyata.

Saya segera buka internet dan cari tempat shalat. Ketemu. Di Mall Daimaru lantai 3. Ada tulisan kanji “礼拝室”, bacanya reihaisitsu atau dalam bahasa inggris prayer room alias tempat shalat.

Saya shalat ashar disana dan ketemu dengan orang Malaysia yang juga habis shalat. Setelah berbincang sebentar, kemudian saya segera shalat.

Setelah itu, saya nyasar ke toko Big Camera untuk mencari tahu bagaimana cara membeli kartu “freetel” agar bisa mempunyai nomor telpon disini sekaligus paket internetnya.

Informasi dapat, harganya lumayan murah, namun sayangnya, harus punya kartu kredit. Karena saya tidak punya, jadi harus buat dulu. Yah, belinya besok-besok lagi deh.

Setelah itu, sekitar jam setengah 5, Kembali saya ke Daimaru untuk shalat maghrib. Setelah itu pesan baru masuk,

“Arsyad san, gomenasai. Kayaknya hari ini susah ketemunya. Insyaallah, saya usahakan ketemu sebelum balik ya,” Tulis beliau.

“Zenzen kamaimasen. Gak apa-apa sensei. Semoga ada kesempatan yang lain,” Balas saya.

Setelah itu saya pulang asrama.

Kemarin, rencananya juga mau ketemu. Tapi sekali lagi, batal karena beliau harus menemani para turis yang dibawanya jalan-jalan hingga larut malam.

Dan beberapa saat yang lalu. Akhirnya saya bisa bertemu dengan beliau. Padahal tidak ada janji sebelumnya.

Biasanya, saya pulang dari RS sekitar jam 6 sore. Namun tadi, jam 7 saya baru pulang karena habis ngobrol dengan staf “Speech therapy” di ruang perpus RS.

Namanya Hirao san, umurnya 3 tahun dibawah saya tapi lancar banget bahasa jepangnya. (Ya iyalah, namanya juga orang jepang, hehe).

Ketika hendak ganti baju, saya kembali dihubungi beliau, “30 menit lagi saya sampai di stasiun Shindohigashi. Tolong tunggu disana ya,”

Kok pas banget, pikir saya. Setelah ganti baju, segera saya meluncur ke tempat yang disebutkan.

Dan alhamdulillah bisa bertemu. Setelah 2 kali gagal, akhirnya yang ketiga bisa ketemu juga.

Sampai di asrama saya, walaupun dalam waktu yang singkat, tidak sampai 1 jam, ada secercah ilmu baru yang saya dapatkan.

“Saya tadi ‘melarikan diri’ sejenak dari rombongan. Mumpung mereka sedang belanja, saya segera kesini,” Ucapnya tadi.

“Saat saya kirim pesan tadi, itupun sambil lari ke stasiun,” Ucapnya.

Ya, pertemuan singkat tadi sungguh sangat berkesan. Sambil menyantap bakwan goreng yang masih hangat, ditemani sambal ulek pedas mantap, beliau bercerita,

“Saya salut dengan teman-teman yang merantau ke Jepang ini,”

“Sejatinya, belajar bahasa jepang itu bukan soal bisa atau tidak. Tapi apakah mau atau tidak,”

“Belajar bahasa itu tidak selalu soal nilai diatas kertas saja. Tapi lebih kepada sebarapa banyak kita mempraktekkannya, khususnya kepada orang jepang yang memang itu bahasa mereka,”

“Jika itu terus dilakukan, saya yakin, kemampuan bahasa jepang akan meningkat dengan cepat. Yakinlah dengan hal itu,” sambungnya.

Kemudian beliau segera pamit pulang karena sudah ditunggu rombongan.

Sebenarnya, beliau adalah bukanlah sensei yang pernah mengajar saya dalam hal bahasa jepang. Beliau adalah sensei bahasa Jepang yang pernah mengajar teman-teman saya di Yayasan Bima, Jakarta.

Saya memanggilnya sensei karena memang beliau adalah seorang sensei, bagi teman-teman saya, maupun bagi siapapun yang mau belajar darinya. Baik tentang bahasa maupun tentang pengalamannya.

Kunjungan yang singkat, obrolan serta bakwan yang hangat dengan sambel yang maknyus, akan menjadi catatan tersendiri buat saya dalam perjalanan di Sapporo ini.

Wazawaza irasshatte itadaki, hontouni arigatou gozaimasu.

Mata aimashou, sensei.

Sapporo, 28 Desember 2016. 23.00 Waktu setempat. Suhu luar minus 5 derajat.

Uki

Foto Arsyad Syauqi.
Foto Arsyad Syauqi.