Ketika “Perawat” Menjelajah Dunia Baru

#Yuki 7

Foto Arsyad Syauqi.

Namanya mas Arif Indiarto, lulusan Poltekkes Semarang tahun 2002. Pertama kali saya mengenalnya ketika beliau memberikan kuliah umum di kampus saat saya masih tingkat 2, tahun 2010.

Sekarang beliau sudah menjadi perawat berlisensi Amerika dan bekerja di salah satu rumah sakit di Houston.

Artikel yang pernah ditulisnya, “Dari Logo Poltekkes Semarang Sampai ke Negeri Obama”, yang bisa ditemukan di internet, saya kira telah berhasil menginspirasi banyak orang. Boleh jadi saya satunya.

Ketika itu saya meniatkan diri, saya juga harus bisa sampai ke luar negeri. Tapi caranya bagaimana? Saya belum tahu.

Setelah pertemuan itu, saya mencari kontak facebooknya. Ketemu. Saya menghubungi beliau, dan boleh jadi, ketika itu pertanyaan saya terlalu “kemana-mana”, namun beliau masih bersedia menjawabnya.

Padahal dari cerita beliau, saya tahu betul, kehidupannya disana sungguh sangat sibuk. Bekerja, sembari belajar, dan telah menyelesaikan S1 nya di Amerika.

Info terakhir yang saya dengar, beliau lanjut lagi mengambil program master atau S2 bidang anestesi disana. Sungguh, pembelajar yang tangguh!

Dan tanpa saya sadari, beliaulah yang menjadi role model saya. Menjadi salah satu inspirasi saya untuk menembus batas agar bisa “belajar” di dunia global juga.

Ketika melewati masa kerja selama 2 tahun di Batam, saya kembali aktif mencari info untuk keluar negeri.

Tujuan utama saya saat itu, RN (Registered Nurse) di Amerika. Berbagai info saya cari, tidak lupa bertanya kepada relasi yang mempunyai info tentang cara kesana. Hasilnya nihil.

Program yang pernah diikuti seperti mas Arif bertahun lalu sudah tidak ada. Ditambah dengan info bahwa Amerika sedang mengurangi tenaga perawat asing, karena ingin memberdayakan perawat dalam negeri. lengkaplah sudah, satu pintu telah tertutup.

Lalu saya dapat kabar, ada info ke Kuwait. RS pemerintah disana buka lowongan lewat agen di Jakarta. Saya telpon, diminta kirim lamaran. Segera saya lengkapi lamaran tersebut, kirim lewat pos dan softcopy juga.

Bulan demi bulan berlalu, kabar pun tidak kunjung datang. Saya hubungi nomor telpon yang pernah aktif, tiba-tiba tidak nyambung. Entah mereka “liburan” kemana. Kok tiba-tiba “plesir” begitu saja.

Beberapa bulan kemudian, ada seorang teman dari Semarang yang memposting sebuah informasi “Dibutuhkan Perawat ke Qatar…”.

Segera saya tangkap peluang itu, saya tanya berbagai hal, kemudian bolak-balik Batam-Jakarta hingga beberapa kali.

Pendaftaran lah, latihan wawancara lah, persiapan mengenai ini itu lah. Tidak terhitung waktu dan biaya yang habis saat itu.

Sampai ibu saya bilang, “Kamu itu bolak-balik Jakarta ke Batam kayak pergi main ke rumah tetangga saja..”.

Ibu dan Bapak saya hanya pernah sekali melakukan perjalanan naik pesawat, saat diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa bertamu ke Kabah.

Nah, saya dibilang oleh ibu kalau naik pesawat sudah kayak naik bus aja. Karena saking seringnya.

Padahal kalau boleh memilih, saya mending naik bus aja kalau bisa. Naik pesawat sungguh berat di ongkos coy..

Setelah proses demi proses saya ikuti, kembali saya harus menelan pil pahit lagi.

Saya sudah bayar untuk biaya pelatihan dan persiapan tes. Tiba-tiba dari pihak PJTKI nya bilang bahwa seleksinya ditunda, hingga batas waktu yang belum bisa ditentukan!

Catat, batas waktu yang belum bisa ditentukan!

Memanglah tipikal khas orang Indonesia, menggunakan bahasa halus untuk memberikan suatu kabar, sampai kabar pahit dari proses seleksi dibatalkan pun dibilang ditunda. Dari 2014, hingga hari ini, tidak ada kabar lagi.

Baru 3 kali, atau sudah 3 kali, sama saja. Yang jelas, ini pil pahit ketiga bagi saya. Saya begitu paham arti kata “ditolak”, betul-betul saya rasakan sampai 3 kali.

“Masih ada kesempatan, Mas,” Kata Direktur Almamater saya.

Perbincangan itu berlangsung sebentar mengingat beliau memang punya banyak agenda. Bisa bertemu sebentar pun saya sudah bersyukur.

Saya punya kebiasaan rutin, kalau pulang setahun sekali, saya usahakan bertemu dengan bapak ibu dosen di kampus, serta guru-guru saya, walaupun hanya sekedar berjabat tangan dan saling bertanya kabar.

Tidak lupa mampir ke Direktorat, siapa tahu bisa bertemu pak Direktur. Karena memang hubungan dengan orang-orang di kampus sudah seperti orang tua saya sendiri.

“Ada program ke Jepang buat perawat. Siapa tahu Mas Uki bisa masuk,” Sambung beliau.

Kemudian, segera saya mencari info tentang perawat ke Jepang. Info saya dapat, lalu saya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Saya ingin fokus, ingin kursus dulu, ingin persiapan yang matang setelah “ditolak” tiga kali.

Sebelum itu, tentu saya ijin dulu kepada ibu saya. Boleh tidaknya saya ikut program ini. Ibu saya hanya bepesan sekaligus memberi nasehat,

“Semoga lancar prosesnya. Kalau gagal lagi, lebih baik ikut CPNS saja ya,..” Masih hafal betul ucapan beliau yang satu ini saat disampaikan hampir 2 tahun lalu.

Kemudian saya keluar dari Batam, ikut kursus bahasa selama 4 bulan, persiapan tes yang memang melelahkan, rasa dag-dig-dug masih terus menghantui.

Tidak bisa dibohongi, rasa khawatir itu akan selalu dan terus ada. Cara menanggulanginya hanya satu. Berusaha, Berdoa, dan Tawakkal.

Semenjak waktu itu, berbagai tempat baru, kenalan baru, rasa semangat yang naik turun, merasa senang karena sudah mulai bisa bicara bahasa Jepang, merasa frustasi karena tidak hafal-hafal kosakata baru, sering lupa cara nulis huruf kanji, terus menghiasi perjalanan saya hingga hari ini.

Efektif, hari ini saya telah memasuki 3 minggu di dunia kerja lagi setelah hampir selama setahun lebih belajar di kelas saja.

Sebuah rumah sakit di wilayah timur kota Sapporo yang saat ini beku oleh hamparan salju, menjadi arena belajar saya selanjutnya.

“Loh, masih belajar lagi, Mas?” Tanya adik kelas saya beberapa waktu yang lalu.

Ya, belajar lagi. Memang secara kontrak kerja, saya memang harus kerja selama 5 hari selama seminggu, dengan 2 hari libur.

Tapi, sebelum lulus ujian negara untuk mendapatkan lisensi disini, kami bekerja sebagai asisten perawat yang hanya diberi kewenangan sebatas melakukan kegiatan KDM (Kebutuhan Dasar Manusia).

“Wah, ntar kemampuannya turun dong. Gak bisa nyuntik sama infus lagi,” Tambahnya.

Turun kemampuan itu memang boleh jadi iya, tapi bukan berarti hilang sama sekali.

Bahkan, “skill” saya untuk nyuntik maupun infus memang kurang terlatih, karena selama tiga tahun di Batam dulu saya hanya pegang alat operasi. Nah loh, kapan saya bisa nyuntiknya?

Bagi kami para perawat, kemampuan itu tidak hanya sebatas nyuntik maupun infus saja. Itu hanya bagian kecil dari sekian banyaknya disiplin ilmu dan praktik keperawatan.

Kalau hanya soal “nyuntik”, Kepala keperawatan di sebuah RS bahkan hampir tidak pernah nyuntik. Karena tugas utamanya memang bukan itu. Ia menjadi kepala yang harus memikirkan banyak hal, mengkonsep banyak hal.

Dan disini, bukan soal “nyuntik” atau “infus” dulu yang jadi masalah, tapi komunikasi dengan teman sejawat, dengan pasien, persiapan ujian, yang kesemuanya memakai bahasa Jepang, adalah tantangan tersendiri di dunia baru ini.

Jika komunikasi bisa terjalin dengan baik, lalu bisa bisa memahami huruf kanji yang ribet ini dengan baik, maka kemampuan yang akan didapat saya kira akan lebih banyak dibandingkan hanya soal “nyuntik” saja.

Junkanki byouto (循環器病棟) atau ruangan penyakit kardiovaskuler yang terletak di lantai 2 rumah sakit ini, menjadi tempat bekerja dan belajar yang baru bagi saya.

Apalagi saya belum pernah masuk ke ruangan semenjak lulus kuliah dulu, karena memang di ruang operasi terus. Bakal banyak hal baru yang akan bisa saya pelajari.

Pergi ke tempat baru, berkenalan dengan orang baru, ternyata betul-betul mengubah pandangan saya terhadap banyak hal.

Ada yang mau ikut menembus dunia internasional juga?

“Begitu banyak hidup orang berubah lantaran sebuah pertemuan. Disebabkan hal itu, umat Islam disarankan melihat banyak tempat dan bertemu dengan banyak orang supaya nasibnya berubah’ Andrea Hirata, Padang Bulan”

Sapporo, 5 Januari 2017. 21.00 waktu setempat. Suhu luar -3 derajat.

Uki

Foto Arsyad Syauqi.
Foto Arsyad Syauqi.
Foto Arsyad Syauqi.