Bang Toyib dan Grup WA Keluarga

#Yuki 32

Sebentar. Biar saya luruskan sedari awal biar gak salah paham.

Itu memang foto keluarga saya, bukan keluarga cemara, apalagi keluarga cendana.

Ada bapak, ibu dan saudara-saudara dan suami mbak saya. Namun, itu adalah 3 tahun lalu. Tepatnya saat lebaran tahun 2014, saat kami (para anak-anaknya) yang “gemar” merantau, ndilalah bisa kumpul di Kudus.

Ndilalah, karena setelah negara api menyerang kembali, eh, setelah kami pada merantau lagi, jarang bisa kumpul komplit (pake telor) seperti itu.

Ya, memang saya yang jarang ikut kumpul sih. Soalnya yang paling sering loncat kesana-kemari, tapi sampai sekarang belum punya kemampuan seperti kera sakti.

Seperti tahun ini saja, ketika saya sedang mengetik tulisan ini, adik saya sudah nangkring di Kudus menikmati liburan dari Pondok Gontor, serta keluarga mbak saya, sedang siap-siap mudik dari Jogja.

Kok tiba-tiba pengen dibawain gudeg ya..

Oleh karena itu, insyaallah tahun ini, akhirnya saya resmi bergabung dengan jamaah “Bang Toyib” nasional.

Tahu kan, bang toyib? Yang liriknya fenomenal itu, “Tiga kali puasa, tiga kali lebaran…”

Dua kali puasa plus lebaran saat dulu masih bekerja di Batam (tahun 2012 dan 2013, karena 2014 saya mudik). Lalu tahun ini sebagai pelengkapnya.

Loh, bukannya tahun kemarin sudah di Jepang? Iya, tapi setengah bulan saya ada di Indonesia, jadi gak masuk hitungan.

Tinggal menunggu beberapa hari lagi, jika lebaran tiba, ketika para anak-anak di kampung sibuk dengan baju barunya, lepas pasang sandal gunung karena silaturahim le rumah tetangga, serta sesekali mendapatkan kejutan berupa rengginang yang ada di kaleng Khong Guan.

Saat itu, gelar bang toyib akan resmi saya dapatkan (lah, ini bangga apa ngenes ya, haha).

“Eh, kalau cowok bisa dong disebut bang toyib, kalau cewek bagaimana?” Ujar teman saya.

“Kalau cewek ya bukan bang toyib, tapi mbak Sri. Ingat kan lirik lagunya?”

“Sri, kapan kowe bali…..” Hiyaaaaa

Kemudian tentang grup WA keluarga.

Ada sebuah artikel yang saya baca dan menyebutkan kira-kira begini,

“Tiga hal yang menjadikan ramai sosmed atau sosial media adalah, pertama, komentar netizen. Dua, grup chat sekolah atau alumni, dan ketiga adalah grup WA keluarga…”

Soal komentar netizen atau pengguna sosmed tidak perlu saya bahas, toh saya yakin sudah pada tahu semua.

Beritanya apa, komentarnya apa. Mulai dari debat kusir, adu makian serta sumpah serapah, sampai komentar yang paling maknyuss yang seperti ini,

“Apa cuman gue disini yang langsung liat komentar sebelum baca beritanya?” Nah loh.

Lalu soal grup chatting. Mulai dari WA, BBM, Line, dan lainnya. Yang ketika lagi seru yang dibahas, ibarat mata sekejap berkedip, sudah harus langsung scroll ke bawah lama..

Mulai dari ajakan buka bersama teman-teman kuliah, ramai soal kapan lebaran, apakah tahun ini NU dan Muhammadiyah akan barengan, sampai yang nge-share status panjangnya gak ketulungan.

Di tengah keramaian tersebut, ibarat oase, hadirlah grup WA keluarga.

Saya perlu berbangga terhadap hal ini. Walaupun terbilang telat, karena nunggu adik saya punya hape layar datar, barulah mbak saya berinisiatif membuat grup ini.

Ibu dan bapak saya malah sudah punya hape android duluan.

Tapi ya begitu. Ibu saya, cuma digunakan buat “mantau” anak-anaknya lewat status-status facebook dan sesekali video call kalau pas jaringannya lagi gak ngambek.

Maklum, rumah saya itu “mewah”, mepet dengan persawahan dan jauh dari kota.

Soal nulis komentar di facecook? Pernah sekali ibu saya ngetik komentar, eh, yang ketulis huruf konsonan semua.

“Susah, sekali pencet, kepencet semua, haha…” Kata Ibu saya. Maklum, mencetnya bebarengan soalnya, hehe.

Bapak saya? Punya tablet 7 inchi, dengan sinyal 3G.

Hanya saja, lebih banyak digunakan buat lihat video pengajian yang diisi oleh temannya. Jadi lebih berfungsi kayak tivi yang bisa dibawa kemana-mana. Selebihnya? Bahkan aplikasi cuaca pun saya yakin gak pernah dibuka.

Jadi, keluarga kami masing-masing terkoneksi di grup ini (kecuali keponakan saya yang masih kelas 1 SD, seringnya ikut nimbrung pakai hape mbak saya).

Apapun bisa dibahas. Apalagi grup ini dimulai pas awal ramadhan kemarin. Jadi, saat mau berbuka, masing-masing pada ngirim gambar menu berbukanya.

Keponakan saya, ikut-ikutan, setiap jam 12 siang, ngirim foto, mau berbuka, karena masih latihan puasa setengah hari.

Mulai dari mie goreng, tumis kangkung, pecel, oseng teri, dan masih banyak lagi, pernah mampir di grup ini.

Salah satu yang seru adalah, ketika beberapa waktu yang lalu, pas adik saya mudik naik kereta dan upload foto roti dan minuman botol untuk berbuka.

Langsung jadi sasaran bully an, haha. “Lah, kalau cuma roti itu ntar sampe tenggorokan langsung hilang fud…” Kira-kira seperti itu. Maklum, walaupun kami kurus, jangan ditanya soal porsi makan, haha.

Namun, apapun yang kami tulis di grup itu, selalu membuat ibu saya senang.

“Setidaknya kalian tetap rukun walaupun berbeda daerah…..” Begitu ucap ibu saya beberapa waktu yang lalu.

Kami memang berjauhan, tapi, selalu menyempatkan diri untuk selalu berpamitan sebelum pergi kemanapun.

Seperti saya misal. Semenjak merantau 6 tahun lalu, setiap akan berangkat kerja, selalu mengirim sms atau kalau sekarang, pakai chatting di Line atau WA.

“Pamit berangkat bu, Assalamualaikum..” Minimal seperti itu.

Jadi, ibu saya selalu membaca pesan-pesan itu, kecuali pas sedang ada perlu.

Dan ketika grup keluarga ini hadir, minat ibu saya untuk buka facebook menurun dan lebih asik melihat para anak-anaknya “berantem” di grup WA ini.

Walaupun kami terpisah kota, provinsi, bahkan negara, insyaallah grup WA ini akan selalu ramai oleh keceriaan para anaknya.

Karena silaturahim itu mendekatkan dan insyaallah akan selalu memberikan keberkahan.

Sapporo, 22 Juni 2017. 20.45 waktu setempat.

Insyaallah beberapa hari lagi lebaran, mari senantiasa bersihkan hati dan diri, agar selalu “fitri”…

Uki

 

Foto Arsyad Syauqi.