Hidupkan Kembali Mimpi-Mimpi

#Turn On 26

Sudah memasuki dini hari jum’at, jam digital di laptop mungil ini menunjukan waktu 00.41 WIB. Saya tidak tahu harus mulai darimana, yang saya tahu, saya hanya ingin mengeluarkan apa yang mengganjal di hati dan pikiran saya.

Mengapa mengganjal? Hampir seminggu ini entah apa yang terjadi, tiba-tiba minat saya untuk menulis seakan hilang, rasanya hati ini menjadi kosong, saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apakah rutinitas di ruang operasi menyebabkan semua ini? saya rasa bukan itu yang terjadi, walaupun memang beberapa hari ini rasanya fisik serta mental diuji dengan berbagai operasi elektif dan cito yang menjadi-jadi. Namun, saya rasa, bukan itu penyebabnya. Toh, saya juga pernah menulis setelah berdiri semalaman selepas operasi laparatomi bersama tim, membebaskan perlengketan yang merepotkan serta ada beberapa bagian usus yang mengalami kebocoran.

Lalu, apa yang terjadi? Mengapa kebiasaan yang biasanya, saat ada ide, sekecil apapun, saya selalu berusaha mengeksekusinya. Menjadikannya sebuah tulisan, tulisan yang selalu saya harapkan untuk minimal menjadi pembakar semangat saya, semangat hidup dan berjuang di perantauan, semangat untuk menggapai apa yang dulu menjadi cita-cita dan harapan saya, dan kalaupun bisa memberikan manfaat bagi sesama, sungguh menjadi kehormatan serta kebanggan tersendiri bagi saya.

Namun entah mengapa, semua ini terjadi, bak sebuah computer yang kehilangan firewall nya, saya terserang virus kemalasan untuk menulis lagi. Setiap memulai menulis, mengetik lebih tepatnya, memulai dengan sebuah judul, melanjutkannya menjadi sebuah kalimat, kemudian terbentuklah paragraf, diakhiri titik, lalu tekan tombol enter sehingga memulai untuk membuat paragraf baru lagi. Setelah mendapatkan dua paragraf, saya mengalami kesulitan untuk melanjutkannya, pikiran ini kesulitan untuk berfikir, seakan menolak diajak untuk mengeluarkan kata-kata baru lagi, tidak mau diajak kerjasama, ada apa dengan semua ini?.

Sudah ada dua judul yang sejak 2 hari yang lalu saya persiapkan, baru saya ketik, lalu dilanjutkan dengan kalimat, dan berhenti lagi. Saya tekan tombol Ctrl + A, lalu delete, mau menulis lagi, belum ada ide lagi. Saya hentikan dulu.

Lalu kemarin, saya mendapatkan ide menulis lagi, sudah ada judul, outline sudah terancang, baru mendapatkan dua paragraf, lalu bertemu jalan buntu lagi. Apa sebenarnya yang terjadi?.

Saya tutup laptop, saya pindahkan semua pikiran saya hanya untuk membaca, membaca, dan membaca. Apalagi seminggu yang lalu saya baru membeli novel ketiga dari Trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, yang semenjak novel pertamanya keluar, selalu saya lahap tidak lebih dari seminggu. Novel pertamanya saya baca saat masih duduk di semester 4 saat kuliah dulu. Tulisannya bergaya reportase jurnalistik yang memiliki aliran seni yang memikat, akan terus membuat pembacanya kecanduan, akan terasa tidak enak jika berhenti membaca. Tulisannya,  bak sungai yang mengalir pelan dan jernih, kata-katanya mencerahkan, sampai pada waktu itu, saya memberanikan diri bilang ke orang tua saya, jika lulus kuliah nanti, agar diijinkan untuk menuntut ilmu di tempat yang sama dengan yang ditempati adik saya sekarang, Mahfud, di Pondok Madani di Ponorogo. Namun, karena melihat berbagai hal, dari segi ekonomi serta berbagai hal yang menjadi pembahasan kala itu, akhirnya saya lebih memilih fokus untuk menyelesaikan pendidikan saya dan segera mengambil pelatihan, tujuannya kala itu hanya satu, ingin segera membebaskan diri agar tidak membebani orang tua dalam segi biaya. Saya harus segera lulus dan bekerja.

Lalu novelnya yang kedua, Ranah 3 Warna, saya selesaikan saat baru beberapa bulan menginjakkan kaki di pulau ini, saat baru beberapa bulan bekerja dan novel itu terbit, saya meminjamnya dari seorang kawan yang juga suka membaca, saat saya menulis ini, Ranah 3 Warna sudah mengalami cetak ulang sebanyak 6 kali, dan saya menyelesaikannya juga tidak lebih dari seminggu. Dan novel ketiganya, Rantau 1 Muara, yang baru dirilis akhir bulan lalu, saya selesaikan tidak lebih dari seminggu juga, lebih tepatnya beberapa jam lalu saya mengkhatamkannya.

Ada kalimat pembuka dalam trilogi novel ini yang selalu membuat saya merinding ketika membacanya. Kata mutiara dari seorang ulama’ terkenal yang hidup mulai 767-820 M, Beliaulah Imam Syafi’i. berikut kata mutiarannya,

 

Orang ilmu dan beradab tidak akan tinggal diam di kampung halaman

Tinggalkanlah negerimu dan merantaulah ke negeri orang

Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti kerabat dan kawan

Berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang

 

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan

Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang

 

Singa jika tidak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa

Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

 

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam

Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

 

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan

 

Saya mengehela napas, Alhamdulillah saya telah menyelesaikan trilogy ini. namun, setelah menyelesaikannya, saya menjadi tidak bisa tidur, pikiran saya terusik. Segera saya menghidupkan laptop, sejadinya-jadinya saya keluarkan apa yang mengganjal ini. terdiam sesaat, merenung, serta flashback apa yang terlah terjadi beberapa tahun terakhir ini. membuka-buka catatan lama, entah yang berupa file di laptop maupun yang berupa coretan tidak karuan yang ada di berbagai tempat. Di buku, sobekan kertas, dan di tempat-tempat sekenanya yang pernah saya tulisi.

Melihat serta membaca-baca semua tulisan itu, saya menyadari satu hal, saya memang melangkah, namun tujuan saya menjadi kabur untuk sekarang. Tujuan saya menjadi abu-abu, samar, tidak jelas. Semua mimpi-mimpi saya yang pernah saya tuliskan, semua harapan yang pernah ucapkan dalam doa, entah mengapa seakan rasanya sekarang menguap, seperti air yang sedang direbus dan tidak diberi tutup. Semuanya menjadi uap. Apakah, kalau diibaratkan air, pikiran saya ini sedang panas, dan saya tidak memiliki sebuah penutup, lalu air ini menguap begitu saja? Saya semakin bingung, kemana arah tujuan saya, saya melangkah, tapi apakah langkah ini ke depan atau ke belakang? Apakah langkah ini sudah sesuai dengan jalan yang menjadi tujuan saya, ataukah jalan yang saya lalui ini malah berbelok ke suatu tempat yang saya tidak tahu arahnya?.

Sesuai dengan kata mutiara diatas, satu hal yang sudah saya lakukan, minimal saya sudah bisa dikatakan merantau. Tapi, tujuan seperti apakah yang hendak saya capai, kenapa seakan malah menjauh dengan apa yang pernah saya tuliskan dulu. Yang ketika masih kuliah, saat masih dekat dengan dosen-dosen yang sering bercerita tentang pengalamannya, pernah bekerja dimana saja, pernah menuntut ilmu dimana saja, sehingga membuat saya merasa dekat dengan apa yang menjadi cita-cita saya. Lalu, kenapa sekarang rasanya malah menjauh.

Rasanya hati ini menjadi tidak karuan, permisi sebentar, saya ijin mengambil air wudlu dulu.

Berbagai kalimat yang menjadi motivasi saya seakan keluar, berputar-putar, mengelilingi diri saya. Seperti kalimat yang ditulis oleh Andrea Hirata dalam Edensor, Bermimpilah, Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu. Ya, sudah saatnya saya memperbarui niat saya, memperbarui tujuan hidup saya lagi, saatnya menghidupkan mimpi-mimpi lagi.

Semua ingatan saat membaca keseluruhan novel yang ditulis oleh Andrea Hirata, mulai dari Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov, Padang Bulan, Cinta Dalam Gelas, hingga Sebelas Patriot, membuat saya menyadari, jangan berhenti bermimpi, jangan berhenti berharap, dan jangan pernah mematikan cita-cita.

Saya teringat ketika masih MTs dan MA dulu, cita-cita saya sederhana. Walaupun saya bersekolah di desa, yang kata kebanyakan orang kala itu disebut sekolah ngisor pring (dibawah bambu-red), karena memang sekolah saya dulu bangunannya masih kuno, masih pakai bambu untuk menyangga gentengnya, namun cita-cita kala itu, saya harus bisa mengelilingi kota Kudus. Alhamdulillah semua itu tercapai.

Dengan mengikuti ekstrakurikuler Pramuka, saya hampir tidak pernah mengenal hari libur, saking semangatnya ikut kegiatan yang satu ini, waktu libur pun sering saya gunakan untuk latihan. Mulai kelas VII, sudah ikut latihan dasar, lalu ikut seleksi Jambore, pergi ke berbagai bumi perkemahan, mengenal berbagai orang dengan beragam kemampuan. Sebut saja Bumi Perkemahan Abiyoso, Menawan, Kudus. Sudah beberapa kali kesana, pernah memenangkan juara tergiat I dengan teman-teman yang tergabung dalam regu Elang dari Kwartir Ranting Undaan, sehingga berkesempatan maju ke Jambore Daerah di Bumi Perkemahan Widoro, Karang Sambung di Kebumen, yang kala itu saya dengan teman-teman mendapatkan jatah wisata ke Waduk Sempor yang aduhai, serta pulang membawa juara tergiat, senang rasanya pernah ikut mengharumkan nama Kudus di tingkat Provinsi.

Lalu, memasuki kelas X, kecintaan terhadap pramuka saya tidak surut. Berbagai even perlombaan yang pernah saya ikuti diantaranya, Jelajah Kota yang menempuh jarak waktu 8 jam perjalanan, lalu berbagai even Saka Bhayangkara, datang kembali ke Bumi Perkemahan Abiyoso, 2 kali, saat kelas X dan XI, mengikuti TKP (Temu Karya Penegak), yang Alhamdulillah secara berturut-turut bisa memperoleh Runner Up serta Juara tergiat pada tahun berikutnya. Semua itu berangkat dari impian sederhana, hanya ingin menjelajahi kota Kudus karena memang sekolah saya berada di desa.

Lalu saat saya kuliah di Semarang, saya pernah berkata pada orang tua saya, saya pengen menjelajahi minimal pulau Jawa. Entah kemana, saya belum tahu. Setelah masuk semester II, saya pun masuk dalam Himpunan Mahasiswa di tingkat Prodi, walaupun memang bisa dibilang tidak terlalu aktif saat itu, karena memang jadwal kuliah semester I dan II itu mulai pagi dan baru berakhir saat matahari hampir terbenam. Jadinya, ikut organisasi kayak sekenanya aja, dan dengan bekal itu, saat semester IV, sekali lagi, walaupun dengan pengalaman yang minim, malah dimasukkan ke Organisasi tingkat kampus, BEM, Badan Eksekutif Mahasiswa.

Mungkin inilah jawaban dari doa awal sebelum masuk kuliah. Perlu diketahui, kampus saya memilki 8 kampus yang terletak di 5 kota. Mulai dari pusatnya, Semarang, lalu Blora, Pekalongan, Magelang, dan Purwokerto. Karena memang tugas serta program kerja dari BEM, minimal 5 kota tersebut saya pernah singgahi, bisa melihat berbagai pemandangan serta budaya yang ada. Itu baru kegiatan internal kampus, seperti dies natalis, seminar nasional, pelaksanaan sidang tahunan. Belum lagi kegiatan eksternalnya, saya sendiri pernah dikirim ke Malang, untuk mengikuti pertemuan tahunan FKMPI, Forum Komunikasi Mahasiswa Politeknik se-Indonesia, lalu pertemuan di Jakarta serta Bandung juga. Bahkan, beberapa teman ada yang mengikuti pertemuan sampai ke Banda Aceh, sayangnya saya tidak ikut.

Walaupun belum ke semua tempat, namun saya mensyukuri, inilah karunia yang diberikanNya. Mendatangi tempat-tempat yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya. Dan sekarang, saya berada di tempat yang kalau orang bilang, Kepleset saja sudah sampai Singapura.

Sudah hampir satu setengah tahun saya disini, dan memang masih sedikit yang saya pelajari. Lelah dan capek dalam bekerja, tidak hanya saya yang merasakan, karena semua orang pasti merasakannya, hanya respon tiap orang pasti juga berbeda-beda, begitu juga tujuan setiap orang, pasti berbeda juga. Repetisi dalam mencapai kepahaman serta mahir dalam tindakan memang penting, namun jangan sampai terjebak rutinitas. Teringat salah satu kalimat bertenaganya Muhammad Assad,  There is No Growth in Comfort Zone, and There is No Comfort in Growth Zone. Saatnya memilih, saatnya membuat keputusan. Memperbarui niat serta memegang teguh tujuan yang hendak dicapai.

Teringat juga dengan salah satu dialog antara Bruce Wayne dalam Batman Begins. Percakapan Bruce dengan ayahnya, John Wayne. Saat Bruce kehilangan semangatnya, hampir kehilangan tujuan hidupnya, ayahnya mengajukan pertanyaan, “Mengapa kita terjatuh?”, Bruce belum paham, lalu ayahnya menjawabnya sendiri, “Kita terjatuh supaya kita bisa belajar untuk bangkit”.

Masih dalam dini hari jum’at yang hangat serta temaram ini, dalam balutan air wudlu, semoga Allah memberikan keteguhan pada hati saya untuk memperjuangkan apa yang menjadi cita-cita saya. Semoga saya tidak terlena dan lupa dengan tujuan saya. Semoga Allah juga memberikan kesehatan kepada Orang tua saya, mengampuni kesalahan-kesalahannya, menyayangi keduanya seperti mereka menyayangi saya sewaktu kecil. Semoga Allah juga memberikan Ridho serta karuniaNya kepada saudara-saudara saya, yang sudah berkeluarga, di Kota Pendidikan Yogyakarta, serta adik saya yang sedang berjuang keras di Ponorogo, juga kepada teman-teman saya, yang saya kenal sedari dulu, dari saya kecil hingga saat ini, serta sahabat-sahabat yang saya kasihi, keep in touch and keep closer, serta kerabat dan kawan baru disini, yang megajarkan banyak hal kepada saya dalam memasuki dunia kerja, repot, susah, senang, sedih, serta banyak hal yang tidak bisa tergambarkan semuanya.

Jatuh dan bangun, sedih yang mendera dan terkadang kebahagiaan yang tiada terkira, sudah dan yang sedang saya jalani, serta berbagai misteri di hari yang akan datang yang saya belum ketahui. Insyaallah dini hari ini menjadi pengisi energi, lahir dan batin, untuk menyongsong esok hari, berdoa serta berusaha untuk berbuat yang baik lagi. Bisikkan pada hati ini, tetapkan niat dan tujuan dengan pasti. Ucapkan Bismillah untuk memulai langkah ini kembali. Lalu ucapkan pada dunia dengan suara lantang,

Silahkan, buat saya terjatuh dan terjatuh lagi, berapa kali pun kau buat aku aku terjatuh, aku akan bangkit lagi, lagi, dan lagi, dan aku tidak akan berhenti !!!

7 Juni 2013

Arsyad Syauqi

O.R. Nurse

2 respons untuk ‘Hidupkan Kembali Mimpi-Mimpi

  1. ye…… TKP nya yang sekali jadi runner up tapi yang satu jadi juara umum yaaaaaa..huhuhuhu

Tinggalkan Balasan ke na fiana na hahaha Batalkan balasan